Pelaksanaan penambangan diawali dengan penggalian skala kecil diikuti dengan pembuatan lubang pada kaki bukit yang dinamakan lubang bukaan, yang kemudian berkembang menjadi suatu bentuk lorong yang menembus perbukitan menuju lapisan batubara, penambangan dengan cara ini selanjutnya biasa kita sebut tambang dalam (underground mining).
Untuk mengerjakan tambang dengan cara tambang dalam diperlukan tenaga kerja yang cukup banyak, oleh karena itu pada mulanya Pemerintah Belanda mengerjakan orang-orang hukuman sebagai kerja paksa yang kita kenal sebagai orang rantai atau para narapidana dan pada umumnya berasal dari Jawa.
Pada tahun 1893 didatangkan tenaga kerja sebannyak 1.500 orang yang sebagian besar berasal dari pulau Jawa. Mengingat jumlahnya yang cukup banyak maka mereka ditempatkan di berbagai tempat yang tersebar, sehingga hal ini mengalami kesulitan untuk penjagaanya akibatnya banyak para pekerja melarikan diri.
Dengan meletusnya perang di Aceh pada tahun 1898, maka pemerintah Hindia Belanda memerlukan personil yang cukup banyak untuk membantu perang tersebut , oleh karena itu diambil dari buruh kerja-paksa sebanyak 800 orang yang dididik dan dilatih kemeliteran untuk menjadi tentara. Untuk mengganti pekerja yang diambil menjadi tentara, pemerintah Belanda mencoba menggunakan pekerja yang berasal dari penduduk setempat, tetapi ternyata mereka kurang cocok untuk menjadi pekerja tambang. Selanjutnya didatangkanlah buruh-buruh dari luar Sawahlunto dan untuk pertama kalinya adalah bangsa Cina, tetapi ternyata tidak berhasil, kemudian pada tahun 1902 mulai didatangkan kembali pekerja-pekerja dengan sistim kontrak dari pulau Jawa. Pada tahun 1915 penerimaan tenaga kerja dari pulau Jawa dihentikan hingga terjadilah kekurangan tenaga di tahun 1916. Oleh karena itu pada tahun itu mulai dibuka penerimaan pekerja dari pekerja-pekerja bebas.
Jumlah pekerja bebas pada tahun 1915 sebanyak 1.887 orang, tahun 1916 sebanyak 2.406 orang dan pada tahun 1917 menurun menjadi 2.157 orang. Sedangkan pekerja paksanya sebanyak 3.227 orang dan pekerja kontrak sebanyak 709 orang, 15 diantarnya wanita. Sebagian dari pekerja bebas tersebut berasal dari buruh kontrak yang sudah selesai masa kontraknya, tetapi jumlahnya sedikit sekali dan pada umumnya mereka lebih senang melamar kembali sebagai pekerja kontrak. Dari pengelaman tersebut dapat terlihat bahwa orang yang berasal dari Jawa lebih menyukai sebagai pekerja kontrak dari pada sebagai pekerja bebas.
Pada tahun 1922 sampai tahun 1925 dibangun komplek penjara dengan tembok yang tinggi dan lokasinya tepat didepan lubang tambang dalam guna mengatasi para pekerja paksa melarikan diri.
Pada 1928 dari 2.100 0rang pekerja paksa hanya terdapat 8 orang yang melarikan diri, dengan resiko hukuman cambuk rotan sebanyak 27 kali, yang akhirnya pada tahun 1936 hanya terdapat kurang lebih 400 orang pekerja hukuman atau pekerja paksa, mereka ditempatkan di lapangan Sawah Rasau IV.
Mulai tahun 1937 pekerja-pekerja paksa dari orang hukuman secara berangsur-angsur diganti dengan pekerja dari buruh bebas. Proses pemindahan ini diselesaikan pada tanggal 1 April 1938.
Sungai Durian, September 2007
Rumah 4 (ampe) – Continental
(Perumahan Balai Diklat Tambang Bawah Tanah)
Selasa, 23 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar